By: O. Solihin
“Memalukan!” Ogi geram saat Jamil menyampaikan kabar bahwa ada anak rohis yang pacaran.
“Mil, kamu nggak lagi bikin gosip murahan seperti ini kan?” Ogi masih kurang yakin.
“Gi, pantang bagiku asal ngomong kalo nggak ada bukti.” Jamil menatap lekat wajah sahabatnya itu.
Ogi mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan kemudian berjalan menuju jendela kamarnya. Ditatapnya langit biru yang dihiasi awan putih sore itu. Pikirannya jauh mengembara. Menjangkau semua kenangan yang pernah bersamanya. Masalah ini, pernah juga mengendap dalam hidupnya.
“Sori Gi, kamu ingin bukti?” Jamil membuyarkan lamunan Ogi.
“Mil, ini masalah serius yang harus segera ditangani. Jika nggak, bakalan heboh seluruh seluruh sekolah dan pasti mencap anak rohis tuh bermasalah. Walau yang melakukan cuma Helmi,” Ogi khawatir banget.
“Oke, kalo gitu apa yang harus kita lakukan?” tanya Jamil.
“Aku pengen bukti dulu.” Ogi masih dengan napas yang tak teratur.
“Tenang Gi. Kamu kok kayak dikejar anjing aja. Cool Gi, Cool!” Jamil berusaha ngimbangi ketegangan Ogi sambil mengeluarkan secarik kertas berlipat dari saku bajunya.
“Apa ini?” Ogi penasaran.
“Buka dan baca saja,” pinta Jamil.
“Hmm… dari mana bisa tahu kalo ini tulisan Helmi? Ini kan print-out komputer?” Ogi setengah nggak percaya.
“Ini puisi ya Mil?” Ogi siap-siap baca tapi masih aja nanya Jamil.
“Iya, udah deh baca aja. Napa sih? Eh, tapi jangan dihayati yee..” seru Jamil sambil cengar-cengir.
“Pertama kali bayangmu jatuh tepat di fokus hatiku
Nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan lensa maksimum
Bagai tetes minyak milikan jatuh di ruang hampa
Cintaku lebih besar dari bilangan avogadro…
Nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan lensa maksimum
Bagai tetes minyak milikan jatuh di ruang hampa
Cintaku lebih besar dari bilangan avogadro…
Walau jarak kita bagai matahari dan Pluto saat aphelium
Amplitudo gelombang hatimu berinterfensi dengan hatiku
Seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih
Bagai kopel gaya dengan kecepatan angular yang tak terbatas”
Amplitudo gelombang hatimu berinterfensi dengan hatiku
Seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih
Bagai kopel gaya dengan kecepatan angular yang tak terbatas”
“Duileeee.. sampe segitunya Helmi. Tapi sebentar…” Ogi mengernyitkan dahinya.
“Kenapa Gi?” Jamil ikutan mikir.
“Perasaan aku kenal dengan puisi ini. Oya, Hahahaha. Helmi nyontek neh dari milis majalah-permata!” tawa Ogi tiba-tiba meledak. Jamil Bengong.
“Iya, ini penggalan puisi cinta mahasiswa jurusan fisika yang pernah diposting sama seorang member ke milis majalah-permata, Mil!” jelas Ogi.
“Mil, tapi kok nggak ada bukti yang bisa mengarah kepada Helmi ya?” bisik Ogi.
“Lipat kertasnya. Nama siapa yang tercantum di situ?” pinta Jamil.
Ogi segera melipat kertas itu sesuai saran Jamil. Deg…
“Helmi mengirim untuk Dian? Siapa Dian?” Ogi keheranan.
“Menurut kabar sih, Helmi sering jalan bareng Dian. Sering naik angkot bareng gadis berkerudung itu…” jelas Jamil.
“Tahu dari mana kamu Mil?” Ogi nggak enak ati.
“Leony yang bilang,” terang Jamil.
“Leony?”
“Iya, doi mergoki Helmi lagi jalan berjejeran dengan gadis bernama Dian itu,” Jamil menambahkan.
“Terus dari mana kamu dapetin puisi ini?”
“Wah, aku juga dari Leony. Katanya doi kebetulan nemuin tuh kertas tergeletak dekat mading sekolah,” papar Jamil.
“Oh.. kok bisa ya? Dian anak SMU Jingga juga? Kelas berapa? Perasaan kok aku baru denger ya?” selidik Ogi.
“Menurut kabar sih, Dian tuh anak sekolah sebelah. Tetanggaan ama sekolah kita,”? terang Jamil.
“Hmm.. pantesan aku nggak kenal” Ogi merapatkan dua bibirnya sambil manggut-manggut.
“Gi, kata Leony sih, Dian cantik lho…” Jamil menggoda.
“Ah, kamu emang ijo kalo ngeliat akhwat kiut” ledek Ogi sambil membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja belajarnya.
“Iya dong, karena Dian adalah cewek Gi. Kalo cowok mah ganteng atuh sebutannya!” Jamil terkekeh yang disambut dengan lemparan sebiji kacang atom dari genggaman tangan Ogi dan meledaklah tawa keduanya. Dasar bocah!
“Oya, sekarang gimana neh aksi kita?” Jamil masih bingung.
“Kita ke rumah Helmi aja malam ini,” usul Ogi.
“Oke, kalo vespa bututku udah ada di rumah. Soalnya suka dipake ama Bang Zul main band.” Jamil ngasih syarat.
“Siip!” Ogi mengiyakan.
ooOoo
Jakarta menjelang petang terasa padat. Kemacaten di mana-mana. Suara klakson dibunyikan dengan amat kencang dan bersahut-sahutan. Bukan karena nggak ngerti lagi macet, tapi itu lebih dari tekanan yang berat yang bernama stres. Maklumlah, orang kalo udah stres apa aja bisa jadi sasaran kekesalannya. Wajah-wajah tegang para pekerja yang bergelayutan di bis kota adalah pemandangan sehari-hari yang menghiasi Jakarta.
Selesai sholat maghrib Jamil menjemput Ogi. Ia terlihat lihai mengendarai vespanya mencari celah dalam antrian panjang kendaraan yang menunggu giliran dapet lampu ijo. Lima belas menit kemudian Jamil nyampe di pekarangan rumah Ogi.
“Mo ngopi dulu nggak Mil? Ogi yang udah nunggu di teras depan basa-basi ke Jamil.
“Nggak ah, kalo ngopi mulu biasanya kita keterusan main gim!” sindir Jamil.
“Ah kamu kayak nggak hobi main gim aja,” Ogi ngeledekin.
“Jangan salah Gi, sekarang aku udah nggak nyandu lagi. Bila mampu aja.” Jamil cengengesan.
“Duilee… kayak naik haji aja pake kata bila mampu,” ujar Ogi sambil menutup pintu rumahnya.
“Ayo deh, kalo udah siap mah. Keburu malem nanti.” Jamil langsung menstarter vespanya.
Setengah jam kemudian mereka sampai di depan gerbang rumah Helmi. Tapi pintu pagar terkunci rapi. Ogi mencet bel yang nemplok di tembok dekat pagar. Tiga kali mencet bel, tapi nggak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Begitu akan mencet bel keempat kalinya, terdengar suara pintu rumah dibuka. Pembantu di rumah Helmi yang keluar.
“Eh, Mas Ogi. Maaf Mas Ogi, Mas Helmi sedang keluar rumah. Nggak janjian dulu ya?” Bi Imah, sang pembantu itu ngasih kabar.
“Oh, emang kita belum janjian ama Helmi. Maksudnya sih biar surprise gitu..” Ogi senyam-senyum.
“Iya, ternyata benar-benar surprise. Helmi nggak ada..” celetuk Jamil sambil cengengesan yang kemudian disambut sikutan Ogi.
“Kita pamit aja Bi. Salam aja ke Helmi.”
“Iya..iya, nanti bibi sampaikan deh.”
“Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
Jamil dan Ogi udah kembali menembus belantara hutan beton Jakarta. Menikmati asap kendaraan yang tak sedap. Bahkan bikin sesak. Ditambah upayanya gagal ketemu Helmi.
“Nggak apa-apa, hari ini kita gagal. Masih ada hari esok. Siapa tahu kita gagal lagi. Hehehe.. jangan kalah ama Ari Dagienkz dan Desta dong,” hibur Jamil.
“Iya, tapi kita kan bukan dektektifnya H2C!” Ogi nimpalin.
“Hahahaha..” tawa keduanya meledak dan saingan dengan deru mesin-mesin yang menyesaki jalanan ibukota.
ooOoo
“Gi, ada kabar kurang sedap neh,” Jamil nyamperin Ogi setelah selesai sholat dhuha di mushola sekolah.
“Kabar apa lagi? Soal Helmi?” Ogi menatap wajah Jamil sambil menutup al-Quran sakunya.
“Wah, Leony barusan ngasih ini lagi,” Jamil menyodorkan selembar kertas.
“Surat?”
“Baca aja!”
“Leony dari mana Mil? Kok kayaknya kamu dapat info soal Helmi dari Leony terus? Jadi informan ya?” selidik Ogi sambil menyunggingkan senyuman tipis.
“Nah, kalo yang ini. Leony bilang doi nemuin di mushola tempat sholat akhwat. Dekat cermin,” Jamil lancar ngejelasin.
“Wah, kok bisa ya?” Ogi tetep bingung bin heran. Tapi tak urung juga membuka lipatan kertas itu.
Dari Dian
Untuk Helmi
Maaf jika vulnus ictum et causa keraguanku
Menembus cavum thorax dan bersarang tepat di cardia-mu
Menciptakan internal bleeding profuse yang mungkin membunuhmu
Menjadikan kolaps semua asa yang pernah kausemaikan
Tapi jika tanda-tanda vital cinta itu masih positif
Selamatkan ia dengan oksigenasi 2 liter/menit
Basahi cinta yang tersisa dengan cairan infus ringer laktat
Teteskan anti-koagulan agar tak terjadi proses pembekuan
Ogi kembali tercenung. Tapi segera meledak tawanya, “Hahahaha.. Hei, ini juga puisi kiriman seorang member milis di majalah-permata lho. Aku kenal betul. Kalo nggak salah, Mbak Fikri yang mahasiswi kedokteran itu yang bikin,” Ogi melirik Jamil.
“Kok kamu inget aja sih Gi?” Jamil rada heran.
“Lha iya, aku kan penggemar setia milis majalah-permata, Mil.” jelas Ogi.
“O, gitu ya?” tanya Jamil belaga kayak orang pilon.
“Tapi yang aku bingung Mil, kenapa ini bisa nyasar ke sini dan dipake sama dua anak ini. Helmi dan Dian untuk bales-balesan puisi?” Ogi mengernyitkan dahinya.
“Eh, sebelum masalah ini melebar ke mana-mana, gimana kalo kita datengi lagi Helmi ke rumahnya?” Jamil ngasih usul.
“Oke. Aku setuju. Tapi kita telpon dulu sebelum kita ke rumahnya. Eh, emang hari ini Helmi nggak masuk ya?”
“Iya. Nggak tahu tuh anak. Nggak ada kabar,” terang Jamil.
“Oya, supaya jelas semuanya, kita ke sana barengan aja sama anak rohis lainnya. Terutama Leony dan Rosa kudu dateng. Siang ini aja yuk, pulang sekolah langsung ke sana,” saran Ogi.
“Yup! Aku mo ngasih tahu dulu Leony dan Rosa dan akhwat lainnya ya… biar masalah ini segera selesai. Malu dong nanti anak rohis kok pacaran…” seru Jamil.
ooOoo
“Wa’alaikumsalam” terdengar suara Helmi dan gerak langkahnya menuju pintu depan.
“Wah, kalian. Surprise banget neh datang semua ke rumahku.” Helmi menyambut Ogi dan kawan-kawan ketika buka pintu dan mempersilakan masuk sambil rada kaget.
“Gimana kabarnya Mi?” tanya Ogi.
“Alhamdulillah baik. Tadi aku nggak sekolah karena anter adik periksa ke dokter,”
“Si Budi maksudmu? Sakit apa dia?” selidik Ogi.
Sebelum Helmi menjawab, ibunya Helmi nyamperin ke ruang tamu.
“Ehhh… ada apa nih tumben rame-rame ke sini?” sapa ibunya Helmi ramah.
“Iya Bu, kami mau nengok Helmi. Karena tadi nggak sekolah. Khawatir dia sakit aja Bu…” Ogi basa-basi. Padahal maksud utamanya mau interogasi Helmi.
“Aduh makasih. Kalian udah mau peduli dengan teman. Eh, santai aja ya.. Tante mau ke dapur dulu,” ibunya Helmi langsung ke dapur tanpa menunggu jawaban Ogi dan kawan-kawan. Hening sejenak.
“Begini Mi, tujuan kami ke sini selain nengok kamu, juga ada yang mau kami konfirmasi kepadamu..” Ogi memulai pembicaraan.
“Soal apa ya?” Helmi rada serius.
“Tenang aja Mi. Jangan tegang. Kita nggak bakalan ngeborgol kamu kok,” canda Jamil yang diikuti derai tawa teman-teman rohis lainnya. Helmi juga ikutan tersenyum.
Ogi menyodorkan dua lembar kertas berisi puisi itu.
“Apa ini Gi?” Helmi masih belum ngeh.
“Baca aja!” pinta Ogi.
Begitu dibuka dan dibaca isinya, mimik muka Helmi berubah pias. Ogi dan kawan-kawan saling berpandangan seolah ingin tahu reaksi Helmi berikutnya.
“Ini dari mana Gi?” tanya Helmi.
“Kami mendapatkannya dari Leony, ” Ogi terus terang.
“Tapi ini bukan tulisan aku. Aku nggak merasa nulis ini,” Helmi tetap nggak ngerti.
“Jadi ini bukan tulisanmu?” Ogi meyakinkan dan rada heran. Helmi mengangguk.
“Tapi… kamu kok pernah jalan bareng dengan seorang akhwat dan sering berduaan di angkot…” Leony ikut nimbrung.
“Oh itu toh masalahnya? Sekarang aku ngerti dengan isi dua puisi ini,” Helmi manggut-manggut.
“Jadi kamu pacaran ya Mi?” Jamil rada nuduh.
“Hussy. Jangan asal tuduh Mil, aku jelaskan dulu deh,” Helmi berkilah.
“Dian itu…. adikku! Dian… tolong sebentar ke sini…!” ujar Helmi sambil memanggil Dian.
“Hah? Adikmu…?” Gubrak… Ogi dan Jamil kompak keheranan. Juga teman rohis lainnya kaget setengah hidup.
Helmi dan Dian kemudian menjelaskan bahwa dirinya memang kakak-beradik. Cuma, Dian memang baru pindah dari sekolahnya di desa, karena udah nggak betah tinggal dengan neneknya. Adapun puisi-puisi yang didapatkan Jamil adalah hasil perbuatan Niko, mantan pacarnya Dian yang kecewa berat gara-gara Dian memilih berjilbab dan memutuskan jalinan cintanya dengan Niko.
Tujuan Niko, berdasarkan keterangan Dian, karena ingin menimbulkan gosip bahwa anak rohis juga pacaran. Kenapa Helmi yang dijadikan kambing hitam? Masih menurut Dian, karena rohis SMU Jingga terkenal kejam kepada aktivis pacaran. Jadinya Niko ingin membuat desas-desus bahwa ternyata ada anak rohis SMU Jingga yang pacaran. Niko menganggap Dian nggak akan dikenal sama anak rohis SMU Jingga, karena berbeda sekolah dengan Helmi.[]
Sumber : www.gaulislam.com
0 komentar:
Posting Komentar